TUGAS
MAKALAH
IJARAH (SEWA – MENYEWA)
Makalah
ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Manajemen
Keuangan Syari’ah 2
Dosen
Pengampu : Drs. A. Husni, M.Sos.I
1.
PUTRI DIAH
PARAMITA (1178958)
2. RESTA OKTANTIA (1179038)
3.
TUTI MUFAROKAH (1179508)
Jurusan : Syariah
Prodi : DIII Perbankan Syariah
Semester : IV (Empat)
Kelas : A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI
SIWO METRO
TA.
2012 / 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ijarah adalah transaksi
untuk mengambil manfaat yang diperbolehkan dari barang yang telah ditentukan
dalam jangka waktu yang diketahui atau transaksi jasa yang diketahui dengan
alat tukar yang diketahui pula.
Bentuk pembiayaan ijarah merupakan salah
satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan pembiayaan investor untuk membeli aset
terpenuhi dan investor hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan
modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut. Secara umum timbulnya
ijarah disebabkan oleh adanya kebutuhan akan barang atau manfaat barang oleh
nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan.
1.2 Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai beberapa pokok permasalahan yaitu:
2.1 Hal-hal penting dalam kontrak
(akad) ijarah.
2.2 Peraturan hukum umum ijarah.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Manajemen Keuangan Syariah 2, dan untuk mempelajari tentang Ijarah (Sewa
– Menyewa) beserta ketentuan-ketentuan didalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HAL-HAL PENTING DALAM KONTRAK (AKAD) IJARAH
Hal-hal
penting dalam ijarah adalah:
1.
Ijarah adalah
sebuah kontrak (akad)
2.
Hak pemanfaatan
atas sesuatu dialihkan
3.
Untuk aset tertentu
4.
Untuk periode waktu
tertentu
5.
Dengan imbalan
berupa uang sewa yang telah disetujui
Seperti
layaknya kontrak (akad) lain, pihak-pihak yang terlibat dalam ijarah harus
cakap untuk melangsungkan kontrak (akad). Pihak yang menyewakan menyediakan aset untuk digunakan
dengan imbalan uang sewa. Pihak penyewa berhak menggunakan
aset dengan membayar uang sewa yang telah disetujui hanya untuk tujuan yang
telah ditentukan dalam perjanjian. Ia bertanggung jawab atas kerugian terhadap
aset apabila disebabkan oleh kelalaiannya, tapi tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban untuk ketugian yang disebabkan oleh faktor yang berada
diluar kendalinya.
Untuk
keperluan ijarah, subjek yang memberikan hak pemanfaatan dapat dibagi menjadi
dua jenis yaitu properti
atau aset, seperti rumah, kendaraan, tempat tinggal dan sebagainya, dan tenaga
kerja, seperti hasil kerja insinyur, dokter, penjahit, tukang kayu, dan
sebagainya. Jenis kedua melibatkan penggunaan jasa dari seseorang dengan
imbalan upah, sedangkan jenis pertama berhubungan dengan hak pemanfaatan atas
aset atau properti yang dialihkan ke orang lain dengan imbalan uang sewa.
Ganjaran
untuk penyewaan adalah ujrah (uang sewa atau upah atas barang) atau ajr (upah
dalam penyewaan orang).[1]
2.1.1 Perbandingan
Antara Ijarah dan Bai’
Perbedaan
antara ijarah dan jual beli adalah bahwa dalam jual beli kepemilikan badan dari
properti dialihkan ke pembeli, sementara
dalam ijarah badan dari propertinya masih berada dalam kepemilikan pihak yang
menyewakan, dan hanya hak pemanfaatan atasnya, yakni hak untuk menggunakannya,
yang dialihkan ke pihak penyewa dengan ganjaran yang telah disetujui dan
kepemilikannya tidak dialihkan. Risiko dan biaya yang terkait dengan
kepemilikan atasnya harus ditanggung oleh pihak yang menyewakan.
Perbedaan
besar lainnya antara kontrak (akad) jual beli dan sewa menyewa adalah bahwa
dalam kontrak (akad) sewa menyewa selalu terbatas oleh waktu, berarti perihal
sewa menyewa harus berhenti pada waktu tertentu, sedangkan jual beli berarti
pengalihan pasti kepemilikan atas aset yang dijual sesaat setelah penjualan
dilaksanakan, beserta dengan risiko dan imbalannya.[2]
Perbedaan
antara ijarah dan murabahah terletak pada objek transaksi yang diperjual-belikan yaitu dalam
pembiayaan murabahah yang
menjadi objek transaksi adalah barang, seperti tanah, rumah, mobil dan
sebagainya, sedangkan dalam pembiayan ijarah, objek transaksinya adalah jasa,
baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Transaksi ijarah
dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan
(hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual
beli tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya.[3]
2.2 PERATURAN
HUKUM UMUM IJARAH
Ijarah hanya sah
untuk hak pemanfaatan yang diperbolehkan jika berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak dalam kontrak (akad) sewa-menyewa. Kontrak (akad) nya harus
terbebas dari gharar. Kedua belah pihak harus memiliki pengetahuan dari sifat
dasar hak pemanfaatan.
Uang sewa, atau
biaya penyewaan atau pemberian sewa atas properti dapat dinilai/ditetapkan
hanya ketika propertinya diketahui, baik melalui pemeriksaan, penglihatan,
maupun penggambaran. Diperbolehkan untuk menetapkan kondisi saat pembayaran
uang sewa dipercepat atau pada saat terjadi keterlambatan pembayarannya,
sebagaimana telah disepakati oleh para pihak. Jumlah uang sewa atupun upah
harus sesuai dengan kebiasaan atau tradisi daerah setempat dan harus adil serta
ditermia oleh kedua belah pihak.
Al-Kasani telah
menyebutkan beberapa persyaratan untuk keabsahan dari kontrak (akad) ijarah
berkenaan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (akad) dan aset atau
jasa yang disewakan. Persyaratan pentingnya antara lain:
- Hak
pemanfaatan yang ada dalam kontrak (akad) harus dipastikan guna menghindari
perselisihan yang mungkin terjadi.
- Periode
penyewaan harus ditentukan.
- Dalam
kasus tenaga kerja laki-laki atau jasa, orang yang mengajukan kontrak (akad)
harus mampu menjalankan pekerjaanya.
- Hak
pemanfaatan barang yang ada dalam kontrak (akad) haruslah sah.
Jika aset yang akan
disewakan belum dibeli sesuai dengan permintaan penyewa potensial, pihak yang
menyewakan dapat meminta pembayaran uang muka untuk memastikan komitmen pihak
menyewa mengambil aset yang disewakan ketika dibeli olehnya. Jika pelanggan
melanggar janji dan kontrak (akad) ijarah tersebut dikarenakan alasan yang
disebabkan oleh pihak penyewa, pihak yang menyewakan dapat menahan sejumlah
besar kerugian.
Menurut standar
AAOIFI, uang sewa dapat dibayarkan kapan pun jatuh tempo, baik secara cicilan
maupun kapan pun yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Pihak yang
menyewakan dapat meminta uang muka yang akan disesuaikan untuk uang sewa yang
jatuh tempo.[4]
2.2.1 Pelaksanaan Kontrak
(Akad) Ijarah
Tergantung sifat dasar aset,
kontrak (akad) ijarah dapat dilaksanakan sebelum atau sesudah penguasaan aset
oleh pihak yang menyewakan untuk pelaksanaan/permulaan masa depan/seketika.
Jika aset yang akan disewa sudah ada, maka kontrak (akad) penyewaan dapat dilaksanakan
baik seketika itu pula ataupun pada waktu di masa yang akan datang.
Namun, jika aset tertentu
ditentukan untuk ijarah, kontrak (akad) sewa-menyewa tidak dapat dilaksanakan
sebelum adanya aset tersebut atau perolehan kepemilikan dari aset atau hak pemanfaatannya.
Jika asetnya hancur dalam penyewaan yang demikian, kontraknya akan berakhir.
Jika pihak yang menyewakan tidak memiliki asetnya, ia dapat membuat janji untuk
menyewakan dari pihak penyewa potensial. Uang sewa di muka dapat diambil dari
calon penyewa, tapi tidak akan di anggap sebagai uang sewa yang terus bertambah
dan akan disesuaikan dengan uang sewa yang jatuh tempo.[5]
2.2.2 Penentuan Uang Sewa
Penentuan uang sewa dengan
berdasarkan biaya keseluruhan yang terjadi dalam pembelian, konstruksi atau pemasangan
aset oleh pihak yang menyewakan tidaklah bertentangan dengan syariah. Jika
kedua belah pihak menyetujuinya, asalkan semua persyaratan penyewaan lain yang
ditetapkan oleh syariah diataati. Oleh sebab itu, berdasarkan perjanjian
bersama dari semua pihak yang terlibat penyewaan, uang sewa dapat ditentukan
dengan berbasiskan biaya keseluruhan yang dialami oleh pihak yang menyewakan
untuk pembelian/perolehan aset yang disewakan.[6]
2.2.3Subpenyewaan oleh
Pihak Penyewa
Pada prinsipnya subpenyewaan
diperbolehkan asal disetujui oleh pihak yang menyewakan. Hal ini ditetapkan
dalam perjanjian penyewaan.semua mahzab hukum Islam ternama sepakat mengenai
diperbolehkannya subpenyewaan jika uang sewa yang diambil dari subpenyewaan
sebanding dengan uang sewa yang dibayarkan kepemilik/pihak awal yang
menyewakan. Namun terdapat perbedaan pendapat bila uang sewa yang dikenakan
pada subpenyewaan lebih tinggi dibandingkan dengan uang sewa yang dibayarkan ke
pemiliknya. Syafi’I dan Hambali memperbolehkannya dan berpendapat bahwa pihak
yang menyewakan kembali dalam subpenyewaan dapat menikmati kelebihan yang
diterimanya dari pihak penyewa akhir dalam subpenyewaan. Berbeda dengan Imam Abu Hanifa berpendapat bahwa pihak yang
menyewakan kembali dalam subpenyewaan tidak dapat menahan kelebihan yang
diterima dari pihak penyewa akhir dalam subpenyewaan dan harus memberikan
kelebihannya tersebut untuk sosial.
Namun jika pihak yang menyewakan kembali dalam subpenyewaan telah mengembangkan
property yang disewakan dengan menambah sesuatu kepadanya atau telah
menyewakannya dalam valuta yang berbeda dari valuta tempat ia membayarkan uang
sewa kepada pemilik atau
pihak asli yang menyewakannya, ia dapat meminta uang sewa yang lebih tinggi
dari pihak penyewa akhir dalam subpenyewaan dan dapat menikmati kelebihannya.[7]
2.2.4 Agunan / Jaminan dalam Ijarah
Karena ijarah menciptakan utang
dalam bentuk sewa, maka pihak yang menyewakan boleh meminta agunan/jaminan dari
penyewa. Hal ini diperbolehkan karena asset yang disewakan diserahkan pada
pihak penyewa sebagai bentuk kepercayaan dan ia diharuskan melindungi asset
tersebut dalam kapasitas fidusiannya. Ia bertanggungjawab atas kerusakan asset
apabila kerusakan tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.[8]
2.2.5
Kewajiban
Masing-Masing Pihak
Tidak ada kewajiban dari pihak
yang menyewakan atau karyawan kecuali ditetapkan bahwa ia telah melanggar atau
dengan sengaja menyia-nyiakan atau menghancurkan propertinya. Dalam kasus ini,
ia bertanggung jawab mengganti rugi pihak yang menyewakan untuk kerugian
terhadap asset yang disewakan dikarenakan penyalahgunaan atau kelalaian atau
untuk mengganti barang tersebut. Semua kewajiban yang berasal dari kepemilikan
akan ditanggung oleh pihak yang menyewakan, tapi kewajiban yang berasal dari
penggunaan barang akan ditanggung oleh pihak penyewa.[9]
2.2.6 Penghentian/Perubahan
Kontrak (Akad) dan Implikasinya
Ijarah pada dasarnya adalah
kontrak yang mengikat, yang berarti ketika dilaksanakan maka tidak dapat
dibatalkan secara sepihak. Kedua belah pihak dapat mengubah dan mengakhiri
kontrak dengan kesepakatan bersama. Jika asset yang disewakan rusak
sehingga tidak dapat memberikan hak pemanfaatan lagi maka kontrak ijarahnya akan berakhir. Selain
itu dalam kasus adanya halangan untuk mencapai sasaran kontrak pada umumnya,
pihak penyewa dapat mengakhiri kontraknya.[10]
2.2.7Kegagalan
Pembayaran atas
Uang Sewa yang
Jatuh Tempo
Uang sewa dari kontrak
penyewaan apapun, ketika jatuh tempo mengambil bentuk utang dari sisi pihak
penyewa. Ia akan terkena semua peraturan yang telah ditetapkan untuk suatu
utang. Oleh sebab itu, biaya tambahan dari uang sewa yang telah disetujui yang
dikenakan pada pihak penyewa akan bersifat riba dan dilarang oleh syariah.
Pihak penyewa yang jahat dapat memanfaatkan aspek ini dan mengakibatkan
kerugian bagi pihak yang menyewakan karena kelalaian atas kemauannya sendiri.
Guna pencegahan, ulama memperbolehkan sumbangan atau sejumlah sanksi yang
dibayarkan untuk social dapat ditentukan dari awal perjanjian penyewaan jumlah
sumbangan dapat bervariasi, bergantung pada lamanya kegagalan dan dapat
diperhitungkan sebagai persentase dengan dasar tahunan. Jumlah yang dikenakan
diatas dan melebihi uang sewa yang telah disetujui sebaiknya tidak menjadi
bagian pendapatan dari pihak yang menyewakan dan harus diberikan untuk tujuan
social. Karena sanksi keterlambatan pembayaran ini tidak dapat menjadi
pendapatan bank yang menyewakan, sebaiknya klausul yang sesuai dimasukkan
kedalam perjanjian penyewaan sihingga bila terjasi kegagalan yang dilakukan
dengan sengaja, bank akan mengambil kepemilikan dari asset yang disewakan atau
menurut jaminan untuk mengganti haknya.[11]
BAB III
KESIMPULAN
Hal-hal penting yang ada dalam ijarah yaitu:
1.
Ijarah adalah
sebuah kontrak (akad)
2.
Hak pemanfaatan
atas sesuatu dialihkan
3.
Untuk aset tertentu
4.
Untuk periode waktu
tertentu
5.
Dengan imbalan
berupa uang sewa yang telah disetujui
Ijarah hanya sah
untuk hak pemanfaatan yang diperbolehkan jika berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak dalam kontrak (akad) sewa-menyewa. Kontrak (akad) nya harus
terbebas dari gharar. Kedua belah pihak harus memiliki pengetahuan dari sifat
dasar hak pemanfaatan.
Uang sewa, atau
biaya penyewaan atau pemberian sewa atas properti dapat dinilai/ditetapkan
hanya ketika propertinya diketahui, baik melalui pemeriksaan, penglihatan,
maupun penggambaran. Diperbolehkan untuk menetapkan kondisi saat pembayaran
uang sewa dipercepat atau pada saat terjadi keterlambatan pembayarannya,
sebagaimana telah disepakati oleh para pihak. Jumlah uang sewa atupun upah
harus sesuai dengan kebiasaan atau tradisi daerah setempat dan harus adil serta
ditermia oleh kedua belah pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar